Adalah Jaringan Blogger Indonesia untuk mendapatkan alternatif penghasilan tambahan, dengan cara menyediakan spot/ruangan pada blog sebagai tempat menyampaikan pesan komersial dari Advertiser. Blogger dan Advertiser dapat mendaftar disini,Layanan yang tersedia Pay Per Click (Text dan Banner), Pop Ads dan Pay Per Scan QRCode
Fitur baru 6 Jan 2018, Kami menerima Iklan Digital untuk disebarkan ke Google Search, Google Display Network, Google Mobile, Youtube, Facebook dan Instagram. Langsung Pesan Iklan anda disini untuk penyebaran audience lebih luas
Fitur baru 21 Desember 2016, SEO dan JobReview MarketPlace
Bila Blogger memiliki blog dengan domain sendiri/self-hosting, memiliki kesempatan mendapatkan tugas SEO Placement ataupun Job Review, segera daftarkan blog anda dan tentuka rate harga anda sendiri
Fitur baru 1 November 2016, Program Pertukaran Link antar blog yang dapat membantu traffic blog anda secara organik,dibawah ini adalah salah satu contoh banner dari kumpul blogger..
dan di bawah ini juga adalah salah satu bentuk iklan dari kumpul Blogger..
jika anda tertarik untuk mencobanya, anda dapat melakukan register di bawah ini..
Fitur baru 4 Maret 2017 : Telegram Group @kbcads
Posting Iklan baris gratis di telegram group, automatis akan muncul dihalaman ini http://kumpulblogger.com/iklanbaris.php
KumpulBlogger.com launching sejak 2 January 2008
252,170 Blogger / Publisher
Sudah ikutan, bergabung di KumpulBlogger.com
SUMEDANGLARANG PASCA PRABU GEUSAN ULUN
1. WEDANA BUPATI
Prabu Geusan Ulun merupakan raja Sumedang Larang pertama yang memiliki keabsyahan sebagai penerus tahta Pajajaran, setelah Jayaperkosa menyerahkan atribut raja Pajajaran dan 44 Kandaga Lante serta 4 umbul, namun ia juga raja terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang, karena para penerusnya hanyalah setingkat bupati.
Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608 M, Ia dimakamkan di Dayeuh Luhur. Sebagai pengganti Geusan Ulun ditunjuk Pangeran Arya Suriadiwangsa putranya dari Harisbaya. Didalam Babad Pajajaran Pangeran Arya Suriadiwangsa disebut Pangeran Seda (ing) Mataram.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri, pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru ; istri kedua Ratu Harisbaya, dan istri ketiga Nyi Mas Pasarean. Namun yang menjadi pertanyaan sampai sekarang, alasan apakah yang mendorong Prabu Geusan Ulun memberikan tahtanya kepada Pangeran Aria Suradiwangsa, padahal ia anak dari istri kedua, bukan kepada Rangga Gede putanya dari istri pertama, sebagai kebiasaan yang dilakukan para raja sebelumnya.
Dugaan pemberian tahta kepada Suriadiwangsa dimungkin karena ada kesepakatan antara Geusan Ulun dengan Harisbaya, sehingga Harisbaya mau dinikahi dan meninggalkan Panembahan Ratu. Hal tersebut diuraikan di dalam buku rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpms Jawa Barat).
Menurut babad, Harisbaya tertarik oleh Geusan Ulun, karena keterikatan Cinta Lama bersemi kembali ketika Pangeran Geusan Ulun, Pangeran Panembahan Cirebon dan Ratu Harisbaya sama-sama mesatren di Mataram memperdalam ajaran agama Islam. Singkat cerita ketika Pangeran Geusan Ulun di Undang pada suatu Acara Keraton di Cirebon, pada waktu tengah malam ia meninggalkan suami yang tidur lelap disampingnya lalu masuk kedalam Tajug keraton untuk mengajak Pangeran Geusan Ulun melarikan diri ke Sumedang. Bila benar demikian keadaannya, Pangeran Geusan Ulun tentu tidak perlu menjanjikan atau memberikan jaminan apa-apa kepada Harisbaya. Ternyata kemudian yang ditunjuk adalah putranya Harisbaya, padahal putra sulungnya adalah Rangga Gede putra Nyi Gedeng Waru istri Geusan Ulun yang pertama. Penunjukan Suryadiwangsa, putra Harisbaya tak mungkin terjadi tanpa pernah ada “jaminan” dari Geusan Ulun kepada putri Pajang berdarah Madura ini. Hal ini merupakan indikasi bahwa bukan hanya Harisbaya yang “tergila-gila” melainkan dua-duanya. Jaminan itu pula tentu yang mendorong Harisbaya berbuat nista sebagai istri kedua seorang Raja. Di Cirebon tidak mungkin kedudukan “ibu suri” diperolehnya.
1.1 Pangeran Aria Suriadiwangsa (Rangga Gempol 1)
Tentang sirsilah dari Suriadiwangsa sampai sekarang masih membuahkan perdebatan, karena ada versi yang menjelaskan, : ketika Harisbaya dipersunting oleh Geusan Ulun, ia telah mengandung, sehingga Soeriadiwangsa dianggap sebagai putra Panembahan Ratu, suami pertama Harisbaya.
Hardjasaputra, didalam bukunya tentang : Bupati Priangan, dijelaskan, bahwa : setelah Prabu Geusan Ulun wafat, pemerintahan Sumedang diteruskan oleh anak tirinya, Raden Aria Soeriadiwangsa (1608 - 1624). Namun rpms Jawa Barat menjelaskan dengan menguraikan waktu peristiwa, bahwa : “Soeriadiwangsa benar-benar putra dari Geusan Ulun. Menurut Babad Pajajaran, masa idah Harisbaya itu 3 bulan 10 hari. Jadi, idah bisa menunjukan bahwa waktu dilarikan, Harisbaya tidak dalam keadaan mengandung.”
Dalam pembahasan rpms Jawa Barat sebelumnya menjelaskan pula, bahwa : “menurut Pustaka Kertabhumi I/2 peristiwa pelarian Harisbaya terjadi pada tahun 1507 Saka atau 1585 Masehi, sedangkan pernikahan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi pada tanggal 2 bagian terang bulan Waisaka tahun 1509 Saka (kira-kira 10 April 1587), jadi ada selisih waktu dua tahun lamanya sejak Harisbaya dilarikan dari Pakungwati ke Sumedang dengan pelaksanaan pernikahannya”. Disisi lain tidak pernah ditemukan adanya kisah yang menjelaskan, bahwa Suriadiwangsa dilahirkan sebelum Harisbaya dinikahi oleh Geusan Ulun. Kiranya memang Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) adalah putra dari Geusan Ulun.
Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa ada dua peristiwa yang berpengaruh terhadap sejarah Sumedang, yakni penyerahan Sumedang kepada Mataram pada tahun 1624 M, dan masalah yang terkait dengan penyerangan Mataram ke Madura. Pada tahun yang sama Pengeran Arya Soeriadiwangsa wafat, sehingga banyak yang menafsirkan ia dijatuhi Hukuman Mati oleh Sultan Agung (Mataram).
1.2 Berserah Ke Mataram
Pada mulanya diwilayah Priangan hanya ada dua daerah yang berdiri sendiri, yakni Sumedang dan Galuh. Sumedang muncul setelah Kerajaan Sunda (Pajajaran) diruntuhkan oleh Banten (1579). Sumedang Larang menggantikan kekuasaan Pajajaran di Parahyangan ketika masa Geusan Ulun, sedangkan Galuh telah lebih dahulu direbut Cirebon dalam peperangan 1528 – 1530 M, kemudian menjadi Kabupaten sendiri yang berada dibawah daulat Cirebon.
Menurut Hardjasaputra : “Pada tahun 1595 Galuh dikuasai oleh Mataram dibawah pemerintahan Sutawijaya (Panembahan Senopati) yang memerintah Mataram pada tahun 1586 – 1601”. Sedangkan Sumedang Larang setelah wafatnya Prabu Geusan Ulun digantikan oleh Raden Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1)
Penyerahan Sumedang Larang kepada Mataram tentunya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik negara disekitar Sumedang Larang, seperti Mataram dan para penguasa di sekitar Jawa Barat (Banten, Cirebon) dan Kompeni Belanda yang selalu berupaya menguasai Nusantara.
Kekuasaan Sumedang Larang pada waktu sebelumnya, yakni pada masa Prabu Geusan Ulun, dianggap berhak meneruskan Pajajaran. Hal ini dibuktikan pada saat diistrenan Geusan Ulun menggunakan atribut raja-raja Pajajaran, ia pun diserahi 44 Kandaga Lante dan 8 Umbul, namun suatu yang tidak dapat disangkal lagi jika ia pun merupakan penguasa Sumedang Larang terakhir yang merdeka, terlepas dari negara lain, karena pasca wafatnya Prabu Geusan Ulun maka Sumedang Larang menjadi suatu daerah setingkat kabupaten yang berada dibawah daulat Mataram, bukan berarti tunduk kepada Mataram, tetapi sebagai mitra karena ada keterkaitan kekerabatan kepada Ratu Harisbaya.
Pada masa pemerintahan Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1), kekuasaan Mataram telah dipegang oleh Sultan Agung (1613-1645 M), Mataram (islam) mengalami masa kejayaannya dan menjadi negara yang kuat. Pada masa inilah Sumedanglarang diserahkan kepada Mataram (1620 M)???
Banyak kisah yang menjelaskan tentang alasan Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) menyerahkan Sumedang menjadi dibawah daulat Mataram. Paling tidak ada yang menarik dari versi yang bersebarangan ini tentang akibatnya dari pernikahan Harisbaya dengan Geusan Ulun, terutama kaitannya dengan posisi Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1), sebagai putra tiri atau anak kandung “pituin” Geusan Ulun.
Hardjasaputra (hal.21) menjelaskan, bahwa : “Ada dua faktor yang mendorong Pangeran Aria Soeriadiwangsa bersikap demikian. Pertama, ia merasa bahwa Sumedang Larang terjepit diantara tiga kekuatan, yaitu Mataram, Banten, dan Kompeni (Belanda) di Batavia. Oleh karena itu, ia harus menentukan sikap tegas bila tidak ingin menjadi bulan-bulanan dari ketiga kekuatan tersebut. Kedua, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa Mataram dari pihak ibu Harisbaya (menurut Widjajakusumah dan R. Moh. Saleh, Ratu Harisbaya adalah saudara Panembahan Senopati, raja Mataram tahun 1586-1601 - penj).
Alasan Hardjasaputra diatas yang tidak memperhitungkan adanya kekhawatiran Sumedang Larang terhadap Cirebon, mengingat ia berpendapat bahwa Pangeran Aria Soeriadiwangsa adalah bukan putra Geusan Ulun, melainkan putra Harisbaya dari Panembahan Ratu Cirebon, sehingga tidak mungkin Cirebon menyerang Sumedang.
Hal tersebut berlainan dengan pendapat para penulis rpms Jawa Barat yang meyakini Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) adalah asli anak Harisbaya dari Geusan Ulun. Penafsiran rpms Jawa Barat ini, berakibat pula ketika memberikan alasan tentang penyerahan Sumedang kepada Mataram. Menurutnya : “Suriadiwangsa menyerah tanpa perang kepada Mataram. Hal ini merupakan bukti bahwa Sumedang sebenarnya lemah dalam kemiliteran. Salah satu penyebabnya ia kebiasaan rajanya mendirikan ibukota yang baru bagi dirinya. Pemerintahnya tak pernah mapan karena tiap ganti raja pusat kegiatannya selalu berpindah. Faktor lainnya yang mendorong Sumedang menyerah “secara sukarela” (prayangan) adalah menghindari kemungkinan adanya serangan dari Cirebon”.
Kekhawatiran terhadap serangan Cirebon tentunya sebagai akibat, pertama, peristiwa Harisbaya menyebabkan perseteruan Cirebon (Panembahan Ratu) dengan Sumedang (Geusan Ulun). Kedua, kekhawatiran Soeriadiwangsa terhadap Mataram akan membantu Cirebon karena ada kekerabatan Mataram dengan Cirebon, Permaisuri Sultan Agung adalah Putri Ratu Ayu Sakluh kakak Panembahan Ratu, maka dengan berlindung dibawah Mataram diniscayakan Cirebon tidak akan menyerang Sumedang.
Penyerahan Sumedang kepada Mataram tentunya disambut baik oleh Sultan Agung. Dari persitiwa ini maka seluruh wilayah Priangan ditambah Karawang praktis menjadi bawahan Mataram. Dan Sultan Agung memproklamirkan ini kepada Kompeni. Dengan demikian di Jawa barat hanya Banten dan Cirebon yang masih dianggap memiliki kedaulatan.
Tentang status penguasa Sumedang pasca penyerahan kekuasaan kepada Mataram dijelaskan, sebagai berikut : “ untuk mengawasi wilayah Priangan dan mengkoordinasikan para kepala daerahnya, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Soeriadiwangsa menjadi Bupati Priangan (1620-1624 M) sekaligus bupati Sumedang, dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, yang terkenal dengan sebutan Rangga Gempol. Sejak itulah di Priangan terdapat jabatan atau pangkat bupati, dalam arti kepala daerah, dengan status sebagai pegawai tinggi dari suatu kekuasaan”. (Hardjasaputra, hal 22).
2. FASE MATARAM
2.1 Hukuman Mati
Penyerahan Sumedang menjadi bawahan Mataram tentunya bertujuan agar Sumedang dapat dilindungi oleh Mataram dari gangguang luar. Konsekwensi logis dari penyerahan ini adalah harus tunduknya para penguasa Sumedang terhadap titah Mataram. Dilain sisi, Sultan Agung memilki strong leadership, jika suatu misi yang diperintahkannya tidak berhasil maka ia tak segan-segan untuk memberikan punishment (hukuman).
Dari kisah Sumedang paling tidak ada dua orang Wedana Bupati yang dikenakan punishment hukuman mati oleh Sultan Agung, yakni Pangeran Aria Suriadiwangsa atau Rangga Gempol I (jika memang benar ia dihukum mati) dan Dipati Ukur.
2.2 Rangga Gempol I
Pada tahun 1624 Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol / Rangga Gempol 1), diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menaklukan Madura, namun setelah Madura ditaklukan Mataram, pada tahun yang sama Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) wafat di Mataram dan dimakamkan di Lempuyanganwangi (baca : https://www.kompasiana.com/ibuseno/nyadran-di-lempuyangan-ada-makam-pangeran-sumedang_552aa61b6ea834a37c552d5d)
Peristiwa tersebut menimbulkan beberapa spekulasi. Ada yang menyatakan kematian Rangga Gempol I di Mataram akibat dihukum mati oleh Sultan Agung, sementara pendapat lain menyatakan bahwa misi yang ditugaskan kepada Aria Soeryadiwangsa (Rangga Gempol 1) dianggap berhasil, karena sekalipun terjadi peperangan dan pasukan Madura sangat gigih bertahan, namun Madura dapat ditaklukan Mataram.
Dari salah satu sumber Sumedang menjelaskan, bahwa : “Pada tahun 1624 Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Rangga Gede.
Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol 1 tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) dari garis keturunan ibu, Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Soeria Diwangsa (Rangga Gempol 1). Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rd. Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) dari Sumedang. Pangeran Soeria Diwangsa (Rangga Gempol 1) wafat di Mataram dimakamkan di Lempuyangan Wangi”.
Di dalam catatan sejarah lain, menjelaskan, bahwa : Di Madura terdapat lima kerajaan, yakni Arosbaya, Sampang, Balega, Pamekasan dan Sumenep. Kelimanya bersatu untuk menghadapi serbuat Mataram, ketika itu pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Sujonopuro. Pasukan Madura berhasil menahan laju serangan Mataram, bahkan Tumenggung Sujonopuro tewas pada serangan malam hari yang dilakukan pasukan Balega. Pada serangan kedua akhirnya pasukan Madura dapat dikalahkan.
Dalam peristiwa tersebut memang Pangeran Soeria Diwangsa (Rangga Gempol 1) berhasil membujuk bupati Sampang untuk menyerah secara damai, namun ia tidak berhasil membujuk bupati lainnya, sehingga terjadi perang hebat. Peristiwa ini dimungkinkan ditafsirkan sebagai kegagalan Rangga Gempol I menjalankan misinya, ia dijatuhi hukuman mati. Karena memang Sultan Agung selalu menghukum para bawahannya yang gagal melaksanakan tugas.
Pendapat yang berbeda, seperti yang dimuat didalam Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat, menyatakan, bahwa : pada tahun yang sama ia dihukum mati di Mataram, bukan karena tidak berhasil menjalankan misinya, namun menurut Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat yang menyimpulkan dari Rutjatan Sadjarah Sumedang memaparkan, bahwa: keberhasilan Rangga Gempol 1 tersebut menjadikan ia sombong dan sesumbar, tanpa Sultan Agung pun ia mampu menaklukan Madura. Ucapannya terdengar oleh Sultan Agung, alasan inilah yang menyebabkan ia dihukum pancung.
Pendapat yang berbeda juga dikemukan oleh R. Lily Djamhur Soemawilaga, dari NKSL menyatakan bahwa : "Pada tahun yang sama ia dihukum mati di Mataram, bukan karena tidak berhasil menjalankan misinya, namun karena taktik Sumedanglarang dalam menjalankan misi ke Mataram, Pangeran Soeria Diwangsa berniat Makar kepada Sultan Agung yang waktu itu karena kedekatannya dengan Sultan Agung setelah menaklukan Madura dan Sampang sehingga Ia diangkat menjadi Senapati di Mataram, begitu juga secara De Facto Sumedang tidak berada di bawah pengaruh Mataram lain halnya dengan Ciamis, Banten dan Cirebon. Ketika Pangeran Soeria Diwangsa berniat Makar kepada Panembahan Sultan Agung. Bisik-bisik makar tersebut terdengar oleh Sultan Agung, sehingga menyebabkan Sultan Agung di Hukum Pancung.
Makam Pangeran Aria Soeria Diwangsa (Rangga Gempol 1) di LempuyangWangi : https://www.kompasiana.com/ibuseno/nyadran-di-lempuyangan-ada-makam-pangeran-sumedang_552aa61b6ea834a37c552d5d
Pada saat Rangga Gempol I menjalankan misinya ke Madura, jabatan Wedana Bupati Priangan dikuasakan kepada Rangga Gede, adiknya. Pangeran Dipati Rangga Gempol I meninggalkan 5 putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II yang menuntut haknya sebagai putra mahkota. Akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Rangga Gede. Dalam suatu serangan, Rangga Gede tidak mampu menahan laju serangan Banten dan melarikan diri ke Mataram, sehingga ia diberikan sanksi politis dan ditahan di Mataram.
Kisah ini agar berbeda dengan versi lainnya. Menurut sumber Sumedang dijelaskan, bahwa serangan Banten ke Sumedang untuk memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa terjadi pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706). Namun dalam catatan sejarah, bahwa pada peristiwa ini memang Rangga Gede tidak sanggup menahan pemberontakan Suradiwangsa II, iapun melarikan diri ke Mataram. Sedangkan jabatan Wedana Bupati oleh Sultan Agung diserahkan kepada Dipati Ukur.
2.3 Dipati Ukur
Kegagalan Rangga Gede mengakibatkan Sultan Agung menyerahkan jabatan Wedana Bupati Priangan kepada Wangsanata yang dikenal dengan sebutan Dipati Ukur, penguasa tanah Ukur yang berpusat di Bandung Selatan (Krapyak). Ketika itu kekuasaan Dipati Ukur membawahi wilayah Sukapura, Sumedang, Bandung, Limbangan, sebagian daerah Cianjur, Karawang, Pamanukan dan Ciasem. Dipati ukur berasal daerah Purbalingga (Banyumas), ia menikah dengan Nyi Gedeng Ukur, putri Umbul Ukur. Kedudukannya sebagai Dipati Ukur karena menggantikan jabatan mertuanya.
Sultan Agung pada tahun 1628 memerintahkan Dipati Ukur untuk menyerang benteng Batavia, namun Dipati Ukur mengalami kegagalan dan ia tidak melaporkan ke Mataram, akibatnya ia dicap melakukan pemberontakan.
Tentang kisah Dipati Ukur, Soeria di Radja (1927) menemukan delapan versi, tentunya ada persamaan dan ada perbedaannya. Versi-versi tersebut, seperti dari Sumedang, Bandung Sukapura, Galuh, Banten, Talaga, Mataram dan Batavia (Hardjasaputra, 23). Mungkin jika saat ini diinventaris akan lebih banyak lagi, baik yang bersumber dari hasil penelitian sejarah maupun dari kepustakaan.
Versi sejarah resmi di terbitkan pada tahun 1990 an, diperuntukan bagi konsumsi anak-anak pelajar SMP Kelas 3 di Jawa Barat, diterbitkan Geger Sunten – 1990. Buku tersebut menjelaskan sebab musabab Dipati Ukur melakukan pemberontakan, sangat jarang diuraikan didalam sejarah dan catatan lainnya, kecuali kegagalan Dipati Ukur melakukan serangan kebenteng Batavia yang menyebabkan pembangkangan serta penangkapannya yang dilakukan oleh para umbul Priangan.
Didalam buku sejarah tersebut (hal 78) intinya menjelaskan, bahwa : Sultan Agung melihat adanya kekuatan Kumpeni Belanda di Batavia yang berhasil menyaingi Banten, ia mengajak Kumpeni untuk menaklukan Banten dan ditolak Kumpeni. Sultan Agung kemudian meminta kepada Kumpeni agar diakui sebagai pertuanan atas wilayah Jayakarta, ditolak Kumpeni. Pada tahun 1624 M ia pun meminta kepada Kumpeni untuk bersama-sama menaklukan Surabaya, juga ditolak Kumpeni, kemudian mendorongnya untuk menyerah Batavia dan mengusir Kumpeni dari daerah perbentengan di Batavia. (Hal. 78).
Pada tahun tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Dalam catatan sejarah pada umumnya hanya disebutkan, bahwa Dipati Ukur gagal menunaikan tugasnya dan ia melakukan pembangkangan karena takut dihukum. Jarang diuraikan penyebab kegagalannya sebagai akibat komunikasi antara Dipati Ukur dengan Tumenggung Bahureksa.
Gelombang serangan pertama Mataram dilakukan melalui laut, dipimpin Tumenggung Bahureksa, selain itu Sultan Agung memerintahkan pasukan Priangan untuk membantu serangan melalui darat yang dipimpin oleh Dipati Ukur. Kedua pasukan tersebut ditentukan untuk bertemu di Karawang. Ternyata pasukan Priangan lebih dahulu tiba di Karawang.
Setelah ditunggu satu minggu pasukan Bahureksa belum juga tiba, pada akhirnya Dipati Ukur berinisiatif menyerah Batavia tanpa bantuan pasukan Bahureksa. Pasukan Dipati Ukur berhasil dipukul mundur, karena tidak cukup kuat untuk menyerang benteng Batavia yang sangat kokoh. Selang beberapa saat pasukan Bahureksa tiba di Karawang, namun ia tidak menjumpai pasukan Dipati Ukur. Dengan sangat marah ia pun menyerang benteng Batavia, ia pun berhasil di pukul mundur dan kembali ke Mataram.
Sultan Agung sangat marah atas kegagalan ini, ia memerintahkan pasukan Mataram untuk memanggil Dipati Ukur. Sayangnya pasukan Mataram tidak menemukan Dipati Ukur di krapyak, karena saat itu Dipati Ukur masih memusatkan kekuatannya diperbatasan Jayakarta untuk menyerang benteng Batavia kembali. Namun ia mendapat laporan dari salah satu wanita penduduk Tatar Ukur yang berhasil meloloskan diri, bahwa : pasukan Mataram di tatar ukur melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh dan mengganggu kehormatan wanita-wanita. Kondisi inilah yang memicu pemberontakan Dipati Ukur. Berkat bantuan tiga orang umbul Priangan, yakni : Kiwirawangsa Umbul Sukakerta ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti ; Ki Somahita Umbul Sindangkasih, pihak Mataram dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur pada tahun 1632.
Hal yang patut diketahui, bahwa : dengan dikuasainya wilayah Priangan oleh Mataram, maka kedudukan penguasa daerah di wilayah itu menjadi turun derajatnya, dari bupati dalam arti raja yang berdaulat penuh atas daerah dan rakyatnya, menjadi bupati vassal dalam arti pejabat tinggi yang wajib mengabdi kepada raja Mataram.
Kisah penangkapan Dipati Ukur yang selama ini kita dilakukan oleh tiga umbul Priangan, namun Naskah Leiden Oriental menjelaskan Dipati Ukur ditangkap oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen) untuk kemudian dibawa ke Galuh. Naskah tersebut ditulis oleh Sukamandara yang pernah menjadi Jaksa di Galuh. Peristiwa penangkapannya menurut Prof. DR. Emuch Herman Somantri terjadi pada hari Senin tanggal 1 bulan Jumadil Awal 1034 H sekitar pertengahan tahun 1632.
Kisah penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura diuraikan didalam Sejarah Galuh, disusun oleh Raden Padma Kusumah. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati Galuh R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886 M, bupati Galuh R.T Wiradikusumah 1815 M dan R.A Sukamandara 1819 M. Naskah tersebut antara lain menjelaskan, sebagai berikut :
255 : Heunteu kocap dijalanna – Di dayeuh Ukur geus Neupi – Ki Tumenggung narapaksa – Geus natakeun baris – Gunung Lembung geus dikepung – Durder pada ngabedilan – Jalan ka gunung ngan hiji -Geus diangseug eta ku gagaman perang.
256 : Dipati Ukur sadia – Batuna digulang galing – Mayak – Gagaman di lebak – Rea anu bijil peujit – sawareh nutingkulisik – Pirang-pirang anu deungkeut – kitu bae petana – Batuna sok pulang panting – Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan
257 : Urang mundur ka Sumedang – Didinya Urang Badami – Nareangan anu bisa – Nyekel raheden Dipati – Bupati pada mikir – Emut ku Dhipati galuh – Ka Ki bagus Sutapura – Waktu eta jalma bangkit – Seg disaur ana datang diperiksa
258 : Kyai bagus Sutapura – Ayeuna kawula meureudih – Dipati Ukur sing beunang – Ditimbalan dijeng gusti – Nanging kudu ati-ati – Perkakasna eta batu – Gedena kabina-bina – Dikira sagede leuit – Dingaranan Batu Simunding lalampah.
259 : Kyai bagus Sutapura – Perkakasna ngan pedang jeung keris – Datang kana pipir gunung – Tuluy gancangan nanjak – Geus datang kana tengah-tengah gunung – Batu Ngadurungdung datang – Dibunuh geus burak-barik.
260 : Nu sabeulah seug dicandak – Dibalangkeun nyangsang dina luhur kai – Nu matak ayeuna masyhur – Ngarana batu layang – Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk – Balad Ukur enggeus ruksak – Ukur ditangkap sakali.
276 : Hariring katu nimbalang – Eta maneh bener Kyai Dipati – Eh ayeuna Tumenggung – Tumenggung Narapaksa – Karep kamenta Ngabehi anu tilu – Ayeuna angkat Bupati
279 : Kyai bagus Sutapura – ayeuna ngarana kudu diganti – Bari diangkat Tumenggung – Tumenggung Sutanangga – Jeung bere cacah 7000 – Ayeuna Geus tetep linggih
2.4 Terakhir
Terhadap perbedaan versi ini sangat mungkin terjadi dan dapat menambah pengayaan pengetahuan masyarakat, khususnya di tatar sunda agar mengetahui kebenaran sejarahnya. Suatu hal yang perlu dicermati dari masing-masing versi tentang paradigma para penulis terhadap Dipati Ukur, apakah diakui sebagai pahlawan atau pembuat onar. Jika saja pembuat onar, maka keonaran tersebut harus dibaca sebagai pemberontakan orang tanah ukur – Priangan terhadap para tuan yang menguasai Priangan saat itu. Paling tidak, ada kenyamanan penguasa dan seke selernya yang terganggu oleh Dipati Ukur, sehingga dikonotasikan negatif.
Pada akhirnya saya hanya bisa mencuplik salah satu “Tawis Katineung Ti Panglawungan Tembang Sunda Pamager Asih Bandung” (Renjagan), tentang proses dan makna penggalian sejarah, sebagai berikut :
Renjagan diri para aji
Ngarenjag para pujangga
Bejana pabeja-beja
Beja dibejakeun deui
Silih gitik ku pangarti
Lali kadiri pribadi.
3. PEMBAGIAN AJEG
Pemberontakan Dipati Ukur berlangsung dari 1628-1632 M. Hal tersebut menggambarkan, betapa sulitnya Mataram melakukan pengawasan terhadap Priangan yang memang jauh letaknya dari pusat kekuasaan. Berdasarkan latar belakang ini konon kabar Sultan Agung berupaya untuk menjaga stabilitas diwilayah Priangan dan Karawang dengan cara melakukan reorganisasi terhadap daerah-daerah tersebut.
Pembagaian wilayah tersebut menurut Hardjasaputra (hal 23) menjadi sebagai berikut : Pertama, Daerah Karawang, lumbung padi dan garis depan pertahanan Mataram bagian barat, dijadikan kabupaten, dengan statusnya tetap berada dibawah kekuasaan Wedana Bupati Priangan.
Kedua, pada tanggal 9 tahun Alip (menurut Hole : 20 April 1641) Wedana Bupati Priangan Tengah dibagi menjadi empat Kabupaten. Kabupaten Sumedang diperintah oleh Pangeran Dipati Kusumadinata (Rangga Gempol II), merangkan sebagai Wedana Bupati Priangan. Ketiga, daerah Priangan diluar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Sukapura, Bandung dan Parakanmuncang. Untuk memerintah tiga kabupaten tersebut, Sultan Agung mengangkat tiga orang kepala daerah yang dianggap berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur, yakni : Ki Wirawangsa Umbul Surakerta menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti menjadi Bupati Bandung, dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun ; dan Ki Somahita Umbul Sindangkasih menjadi Bupati Parakanmuncang, dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Pengangkatan tersebut sebagaimana ditulis dalam suatu Piagem.
Ketiga, Daerah Priangan Timur, yakni Galuh dipecah menjadi empat daerah, yaitu Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasen.
Berdasarkan kisah dari sumber lainnya, Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojonglopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura. Konon kabar Bagus Sutapura pada tahun 1634 diberikan jabatan Bupati di Kawasen karena ia dianggap berjasa menaklukan Dipati Ukur. Sementara Dipati Imbanagara yang dicurigai berpihak kepada Dipati Ukur, pada tahun 1636 dijatuhi hukuman mati.
3.1 Pasca Sultan Agung
Sultan Agung wafat pada pada tahun 1645 M, ia digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I atau Sunan Tegalwangi (1645 – 1677).
Kebijakan Sunan Amangkurat I terhadap daerah bawahannya pada umumnya sama dengan yang dilakukan Sultan Agung, terutama dalam hal melakukan reorganisasi kabupaten. Wilayah Mataram di bagian barat pada tahun 1656 – 1657 dibagi menjadi 12 Ajeg (setingkat Kabupaten), sembilan ajeg saat ini berada diwilayah Jawa Barat dan tiga ajeg saat ini termasuk wilayah Jawa Tengah.
Alasan Sunan Amangkurat I membagi daerah tersebut dikarenakan pasca pemberontakan Dipati Ukur di Priangan, khususnya di Priangan Tengah masih kacau. Disamping itu ada kekhawatiran terhadap kedudukan Kompeni Belanda di Batavia semakin kuat dan Banten sedang melebarkan kekuasaanya kewilayah timur. Oleh karena itu ia pun beranggapan untuk memperkuat Priangan Barat.
Sembilan ajeg yang berada diwilayah Jawa Barat tersebut, yakni :
(1) Sumedang didperintah oleh Pangeran Rangga Gempol III.
(2) Parakanmuncang diperintah oleh Tumenggung Tanubaya.
(3) Bandung diperintah oleh Tumenggung Wiraangunangun.
(4) Sukapura diperintah oleh Wiradadaha.
(5) Karawang diperintah oleh Tumenggung Panatayuda.
(6) Imbanagara diperintah oleh Ngabehi Ngastanagara.
(7) Kawasen diperintah oleh Mas Managara.
(8) Galuh oleh Wirabaja.
(9) Sekace.
Khusus Sakace terdapat perbedaan versi antara Babad Cirebon dan Babad Pasundan, karena babad Cirebon tidak mengenal daerah Sekace melainkan Sindangkasih, sama dengan yang dijelaskan para penulis dalam Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat.
Reorganisasi ini juga menghapuskan jabatan wedana bupati di Priangan, terakhir dijabat oleh Pengeran Rangga Gempol III atau dikenal pula dengan sebutan Pangeran Panembahan, bupati Sumedang pada periode 1656 – 1706.
Reorganisasi daerah Priangan mengakibatkan jabatan bupati Sumedang, yang semulai bergelar “Pangeran” menjadi sederajat dengan bupati lainnya di Priangan, sama-sama bergelar ministeriales – perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan, menurut Natanegara (1936) : “menyebabkan ketidak senangan Rangga Gempol III”. Ia ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan, sehingga memaksa Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang untuk tetap tunduk kepadanya. Akibatnya timbul konflik antara Rangga Gempol III dengan ketiga Bupati tersebut” (Hardjasaputra, hal 24).
4. MENGEMBALIKAN KEJAYAAN
Sultan Agung wafat pada tahun 1645, ia digantikan oleh Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677), putranya. Pasca wafatnya Sultan Agung kekuasaan Mataram berangsur-angsur turun dan menjadi lemah. Demikian pula pengaruhnya terhadap daerah-daerah kekuasaan lainnya yang semula dikuasai Mataram.
Mataram menjadi sangat lemah karena perselisihan diantara para pewaris tahta Amangkurat I yang tidak berkesudahan. Disamping itu, kerap terjadi serangan dari luar, seperti dari pasukan Makasar dan Madura. Amangkurat II didalam cara menyelesaikan masalah tersebut banyak meminta bantuan VOC. Bantuan yang diberikan tidak Cuma-Cuma, karena harus dibayar dengan beberapa wilayah yang dikuasainya.
Priangan khususnya dan sebagian Jawa Barat (yang berada diluar Banten dan Cirebon), menjadi wilayah Mataram akibat diserahkan tanpa syarat oleh Pangeran Aria Suriadiwangsa, mengalami nasib yang tidak kalah menyedihkan, daerah ini terpaksa harus diserahkan kepada VOC, sebagai bentuk kompensasi dari Mataram kepada VOC.
Pada mulanya wilayah Priangan Tengah dan Barat diserahkan kepada VOC sebagai daerah pinjaman, namun dalam proses selanjutnya Mataram semakin melemah dan dirundung permasalahan, dan terus menerus meminta bantuan VOC.
Priangan diserahkan melalui dua tahap, yakni pada tahun 1677 dan 1705. Tahap pertama dilakukan pada perjanjian 19-20 Oktober 1677, diserahkan wilayah Priangan Tengah dan Barat. Pada tahap kedua pada perjanjian 5 Oktober 1705, Mataram menyerahkan wilayah Priangan Timur dan Cirebon. Mataram sendiri secara total menjadi kekuasaan VOC pada tahun 1757. (Hardjasaputra, hal 31).
Tentang proses waktu tersebut, sumber Sumedang mengisahkan adanya eksistensi Pangeran Rangga Gempol III yang berupaya mengembalikan kejayaan Sumedang, sebagaimana pada masa Sumedanglarang ketika masih dikuasai Prabu Geusan Ulun. Kisah ini disitir didalam rpmsJB, : Rangga Gempol III pernah mengirimkan surat kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada hari Senin tanggal 2 Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat didalam buku harian VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi surat tersebut menuntut kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan sebagaimana wilayah yang dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal 57).
Pangeran Rangga Gempol III (1656 – 1706) dikenal sebagai bupati yang cerdas dan pemberani. Ketika diangkat menjadi penguasa Sumedang bergelar Kusumahdinata VI, kemudian menyandang gelar Pangeran Panembahan. Suatu gelar yang diberikan Amangkurat I Mataram atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram.
Kekuasaan Rangga Gempol III di anggap wilayah Mataram yang paling besar di Priangan. Namun sejarah mencatat, bahwa Pangeran Gempol III adalah bupati Sumedang yang merangkap Wedana Bupati Priangan terakhir, untuk kemudian status para bupati Sumedang dianggap sederajat dengan bupati lainnya.
Sebagaimana dijelaskan diatas, pasca wafatnya Sultan Agung mengakibatkan Mataram menjadi lemah, hal tersebut akibat banyak gangguan stabilitas dari dalam dan luar keraton. Untuk mengatasi permasalahannya Mataram kerap meminta bantuan VOC. Bantuan tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus dibayar dalam bentuk penyerahan wilayah kekuasaannya kepada VOC.
Dalam rangka memenuhi kewajiban terhadap VOC, konon pada tahun 1652 Mataram mengadakan perjanjian lisan dengan VOC untuk memberikan hak pakai secara penuh atas daerah sebelah barat Sungai Citarum. Wilayah tersebut berada diluar wilayah Sumedang. Ketika itu Sumedang berada dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh (Rangga Gempol II) putra daripada Pangeran Rangga Gede
4.1 Penghapusan Wedana Bupati
Menurut Hardjasaputra, kira-kira tahun 1657 Amangkurat I membagi daerah priangan, dikarenakan pasca pemberontakan Dipati Ukur di Priangan, khususnya di Priangan Tengah masih kacau. Disamping itu ada kekhawatiran terhadap kedudukan VOC di Batavia semakin kuat dan Banten sedang melebarkan kekuasaanya kewilayah timur. Oleh karena itu ia pun memperkuat Priangan Barat.
Reorganisasi tersebut dilakukan pada masa Rangga Gempol III menjabat “Wedana Bupati Priangan” dan sekaligus merangkap sebagai penguasa Sumedang (1656 – 1706). Para bupati Sumedang sebelumnya bergelar “Pangeran”, dengan adanya reorganisasi maka Rangga Gempol menjadi sederajat dengan bupati lainnya yang ada di Priangan, sama-sama bergelar ministeriales – perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan.
Masalah ini dianggap merugikan Rangga Gempol III, menurut Natanegara (1936) : “menyebabkan ketidak senangan Rangga Gempol III”. Ia ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan, sehingga memaksa Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakan muncang untuk tetap tunduk kepadanya. Akibatnya timbul konflik antara Rangga Gempol III dengan ketiga Bupati tersebut” (Hardjasaputra, hal 24)
Tentang masalah konflik tersebut, mungkin ada hubungannya dengan sumber Sumedang yang menghubungkan alasan Rangga Gempol III merebut kabupatian lain yang dibentuk Mataram pada masa Rangga Gempol II, seperti Bandung, Parakan Muncang dan Sukapura. Hal tersebut dikisahkan terjadi pasca Rangga Gempol menguasai pantai utara.
4.2 Akibat Perjanjian Mataram
Sumber Sumedang menjelaskan adanya perjanjian lisan antara Mataram dengan VOC pada tahun 1652, mungkin yang dimaksud adalah perjanjian pinjam pakai atas tanah, namun VOC merasa tidak puas dengan perjanjian tersebut. Pada tahun 1677 dilakukan perjanjian secara tertulis. Konon dari pihak Sumedang dihadiri oleh Rangga Gempol III. Salah satu butir perjanjian menyebutkan batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan tersebut oleh Amangkurat I ditolak, dengan alasan daerah antara Citarum dan Cipunagara termasuk kekuasaan kabupatian Sumedang dan bukan daerah kekuasaan Mataram. Daerah antara Citarum dan Cipunagara termasuk wilayah Sumedanglarang ketika masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun.
Penolakan Mataram diterima dengan baik oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut, namun VOC meminta agar daerah yang dikuasainya sebagai hak pakai yang diberikan Mataram pada tahun 1652 menjadi milik VOC.
Ada kisah dari versi lain yang berasal dari penelitian, bahwa : “Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 19 – 20 Oktober 1677 tersebut menyebabkan Priangan Barat dan Priangan Tengah jatuh ketangan VOC”. (Hardjasaputra, Hal 31).
Memang Hardjasaputra (2004) tidak menjelaskan ada upaya dari Rangga Gempol III untuk mengembalikan wilayah Sumedang sebagaimana pada masa Prabu Geusan Ulun, bahkan didalam tulisannya tidak ditemukan adanya perjanjian lisan yang dibuat pada tahun 1652. Namun sumber Sumedang menyatakan, bahwa : Keinginan Rangga Gempol untuk mengembalikan wilayah kerajaan Sumedanglarang tentunya sangat sulit dilaksanakan, wilayah tersebut sudah dikuasai oleh Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Oleh karena itu Rangga Gempol III baru dapat memperluas wilayahnya ke pantai utara, seperti Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang masih termasuk kekuasaan Mataram.
Sumedang pada masa sebelumnya sangat tergantung kepada Mataram dan tidak memiliki pasukan yang kuat. Untuk memperkuat posisi Sumedang di pantai utara, maka Rangga Gempol III meminta bantuan Banten. Kebetulan saat itu Banten masih konflik dengan Mataram disebabkan Mataram sangat dekat dengan VOC. Banten menyambut baik permintaan ini, dan meminta Sumedang bergabung dengan Banten untuk menyerang VOC dan Mataram.
Permintaan Banten demikian mengurungkan niat Pangeran Panembahan untuk menerima bantuan Banten, mengingat ada kekhawatiran terjadi kembali peristiwa Raden Suriadiwangsa II (lihat : Bab pembagian Ajeg), ia pun memperhitungkan pasukan VOC yang sangat kuat dan tidak mungkin pada masa itu dapat dikalahkan.
Pembatalan rencana permintaan bantuan Banten menimbulkan pula kekhawatirannya akan serangan Banten dikemudian hari. Untuk alasan ini Rangga Gempol III mengirim surat kepada VOC, isinya memohon bantuan untuk menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara agar dapat mencegah pasukan Banten, sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh langsung oleh Sumedang. Surat tersebut dikirimkan pada tanggal 25 Oktober 1677. Sebagai imbalan, Rangga Gempol memberikan daerah antara Batavia dan Indramayu.
Jika dilihat dari wilayah yang dihadiahkan kepada VOC, sebenarnya Sumedang tidak merasa kehilangan, mengingat daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan perjanjian tahun 1677. Disisi lain, perjanjian Mataram dengan VOC pada 25 Februari dan 20 Oktober 1677 memberikan keuntungan langsung bagi Sumedang, karena dengan dikuasainya daerah tersebut oleh VOC maka secara otomatis VOC akan menempatkan pasukannya untuk menjaga wilayah tersebut dan dapat menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang. Konon masalah ini tidak disadari VOC pada waktu itu, bahkan menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat.
Untuk memperkuat posisinya diluar wilayah Sumedang, Rangga Gempol III juga mengadakan hubungan dengan penguasa Batulajang (bagian selatan Cianjur), yakni Rangga Gajah Palembang, cucu (mungkin juga putra) Dipati Ukur.
Langkah Rangga Gempol III selanjutnya, ia menyerang wilayah pantai utara, seperti daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi. Daerah tersebut sangat mudah dikuasai, bahkan di Ciparigi ditempatkan pasukan Sumedang untuk mempersiapkan menyerang Karawang. Langkah selanjutnya perluasan wilayah diarahkan ke Indramayu, namun Indramayu segera mengakui Rangga Gempol III sebagai penguasa Indramayu. Dari bertambahnya daerah kekuasaan Sumedang maka secara praktis daerah pantai utara Jawa, kecuali antara Batavia dan Indramayu menjadi bawahan Sumedang
4.3 Serangan Banten
Kekhawatiran Rangga Gempol III terhadap Banten terbukti ketika ia sibuk menaklukan pantai utara, sementara Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang.
Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes, memutar jalur perjalanan dari Tangerang ke Patimun Tanjungpura, sehingga berhasil lolos dari penjagaan VOC.
Perjalanan tersebut tiba di Sumedang pada bulan Oktober, namun pasukan Banten tidak dapat menguasai Ibukota Sumedang karena kokohnya pertahanan Rangga Gempol III. Dari pertempuran yang memakan waktu kurang lebih satu bulan, pasukan Banten kehilangan senapatinya yang tangguh, yakni Raden Senapati.
Kegagalan Banten pada serangan pertama disebabkan huru hara di intern Kesultanan Banten, mengingat adanya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa yang memerlukan pasukannya untuk menghadap putranya, yakni Sultan Haji yang dibantu Belanda, sehingga pasukan Banten ditarik mundur dari Sumedang.
Untuk memperkuat posisinya Sumedang meminta bantuan VOC, terutama senjata dan mesiu. Didalam buku rpmsJB dijelaskan mengenai jalur pengiriman bantuan tersebut, melalui sebelah utara Gunung Tampomas, yakni dari muara Ciasem dengan menggunakan rakit sampai di Cileungsing, untuk kemudian dilakukan melalui jalan darat (Hal. 52).
Bantuan VOC tersebut tidak mendapat kompensi dari Sumedang, karena Rangga Gempol III tidak taat terhadap janjinya ; tidak pernah datang ke Batavia untuk melakukan Sowan, sebagaimana layaknya penguasa wilayah jajahan ; dan tidak pernah pula memberi penghormatan atau upeti. Akibatnya, VOC menarik pasukannya dari pantai utara. Namun ada versi lain yang mempertanyakan, apakah memang penarikan pasukan VOC disebabkan Rangga Gempol ingkar janji, mengingat kuatnya pasukan VOC yang sewaktu-waktu dapat menyerang Sumedang atau dipersiapkan untuk membantu Sultan Haji yang sedang melakukan pemberontakan di Surasowan.
Pasca menguasai pantai utara, Rangga Gempol III mengalihkan perhatiannya untuk menguasai daerah kebupatian yang dibentuk oleh Mataram, yakni Bandung, Parakan muncang, dan Sukapura. Rangga Gempol III menguasai kembali seluruh daerah bekas Sumedanglarang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC pada tahun 1677.
Kisah ini berbeda dengan apa yang ditulis didalam buku rpmsJB jilid empat dijelaskan, bahwa : Rangga Gempol III hanya menguasai 11 dari 44 daerah yang semula dikuasai Geusan Ulun. Selebihnya sudah menjadi bawahan Bandung (8 daerah), Parakan Muncang (9 daerah) dan Sukapura 16 daerah (Hal. 57).
Kisah yang sama ditemukan pada versi lain, namun hanya mengisahkan adanya perselisihan antara Rangga Gempol III dengan para bupati yang dibentuk Mataram, yakni bupati Bandung, Parakanmuncang dan Sukapura, sebagai dampak dihapusnya jabatan Wedana Bupati yang semula di sandang Rangga Gempol III menjadi sejajar statusnya dengan bupati lain yang ada di Priangan. Sementara Rangga Gempol III masih menganggap para bupati tersebut sebagai bawahannya. Kisah ini tidak sampai pada uraian tentang keberhasilan Rangga Gempol menguasai kembali kabupatian di Priangan Tengah, karena hanya dikisahkan sebatas “ada persilihan”.
Pada masa kekuasaan VOC disadari, bahwa para bupati Priangan memiliki wibawa dan pengaruh terhadap rakyatnya. Akan tetapi disadari pula, pengangkatan salah seorang bupati Priangan untuk menjadi Bupati Kepala akan menimbulkan konflik diantara para bupati seperti yang terjadi pada Vasaal Mataram. Atas dasar pertimbangan ini kemudian VOC mengangkat bupati kepala yang berasa dari luar Priangan. Oleh karena itu VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon untuk menjadi Bupati Kepala (Bupati Kompeni), sebagaimana terdokumentasikan didalam Besluit tanggal 19 Februari 1706. Bupati Kepala bertugas mengawasi dan mengkoordinir bupati-bupati Priangan, agar mereka melaksanakan kewajiban terhadap VOC secara tertib dan lancar (Hardjasaputra – 2007).
5. KEKUASAAN VOC
Serangan Banten ke dua dilakukan pada awal oktober 1678. Pada awalnya pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan. Pada masa itu daerah-daerah tersebut sudah tidak lagi dijaga pasukan VOC.
Penyerangan ke jantung kekuasaan Sumedang terlebih dahulu dilakukan dengan mengepung Sumedang. Hal ini dalukan oleh gabungan pasukan Banten, Bali dan Bugis, bertepatan pada awal bulan puasa, hari jum’at tanggal 18 Oktober 1678. Konon kabar pasukan gabungan tersebut di pimpinan oleh Cilikwidara dan Cakrayuda. Pelaksanaan penyerangan dilakukan tepat Hari Raya Idul Fitri, ketika itu Rangga Gempol III beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong. Tentunya siapapun tidak akan ada yang pernah menduga serangan tersebut akan dilakukan pada waktu shalat ied, apalagi penyerang dan yang diserang sama-sama memiliki ciri islam yang kental. Akibatnya banyak kerabat keraton dan rakyat Sumedang yang tewas, namun Rangga Gempol berhasil meloloskan diri ke Indramayu.
Rangga Gempol III pada masa pelariannya berupaya mengumpulkan sisa-sisa kekutan. Dengan bantuan dari Galunggung pada akhirnya Sumedang dapat direbut kembali. Namun pada medio Mei 1679 Banten kembali menyerang Sumedang dengan pasukan lebih besar, akhirnya Sumedang jatuh kembali ke tangan Banten, sementara itu Rangga Gempol III terpaksa mundur kembali ke Indramayu.
Pendudukan Sumedang oleh pasukan Banten hanya berlangsung sampai dengan bulan Agustus 1680, karena pasukan Banten ditarik untuk mendukung Sultan Ageng Tirtayasa yang sedang menghadapi Sultan Haji yang didukung oleh VOC. Dalam konflik ayah dengan anak tersebut dimenangkan Sultan Haji. Menurut Untoro (2007) : sejak masa kekalahan Sultan Ageung Tirtayasa oleh Sultan Haji, secara praktis kedaulatan Banten runtuh, apalagi setelah ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1984 (Hal. 41). Banten pada masa Sultan Haji tidak lagi mengganggu Sumedang, bahkan Sultan Haji berjanji kepada VOC, bahwa : Banten tidak akan mengganggu Cirebon dan Sumedang.
Pada tanggal 27 Januari 1681 Rangga Gempol III kembali ke Sumedang. Kemudian pada bulan Mei 1681 Rangga Gempol III memindahkan pusat pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan atau daerah Sumedang (sekarang) dan membangun gedung Srimanganti (saat ini menjadi Museum Prabu Geusan Ulun), namun tidak sempat disaksikannya, karena pada tahun 1706 Rangga Gempol III wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh.
Menurut buku rpmsJB, Rangga Gempol III pernah mengirimkan surat kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada hari Senin tanggal 2 Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat didalam buku harian VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi surat tersebut menuntut kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan sebagaimana wilayah yang dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal 57).
Pada perjanjian tanggal 5 Oktober 1705, antara Mataram dengan VOC, wilayah Priangan Timur dan Cirebon diserahkan kepada VOC, dengan demikian seluruh Jawa Barat dan Banten praktis menjadi wilayah kekuasaan VOC, sedangkan Mataram diserahkan kepada VOC pada tahun 1757.
Rangga Gempol III digantikan oleh putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh VOC. Kemudian didalam salah satu piagamnya yang bertanggal 15 November 1684, VOC mengangkat kepala-kepala daerah di Priangan untuk memerintah atas nama VOC. Pada peristiwa ini jumlah penduduk (cacah) yang berada dibawah masing-masing wilayah sudah ditentukan serta dijadikan ukuran kekuasaan para bupati. Hemat saya, hal ini dilatar belakangi oleh kepentingan VOC untuk memaksimalkan potensi masing-masing wilayah dalam mengelola hasil buminya, semakin produktif daerah tersebut maka semakin besar penghasilan yang didapat VOC.
Menurut de Klein dan Natanegara didalam Volks Almanak Sunda, masing-masing bupati tersebut memperoleh cacah, sebagai berikut :
(1) Pangeran Sumedang 1015 cacah ;
(2) Demang Timbanganten 1125 cacah ;
(3) Tumenggung Sukapura 1125 cacah ;
(4) Tumenggung Parakanmuncang 1076 cacah ;
(5) Gubernur Imbanagara 708 cacah
(6) Gubernur Kawasen 605 cacah
(7) Lurang-lurah Bojonglopang 20 cacah dan 10 Desa. (Hardjasaputra, hal. 32).
6. RANGGA GEMPOL 1 / PANGERAN ARIA SOERIA DIWANGSA
Pada tahun 1610 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I dari Ratu Harisbaya istri kedua Geusan Ulun. Setelah wafatnya Geusan Ulun negeri-negeri bawahan Sumedang Larang dahulu, seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu dan lain-lain melepaskan diri dari Sumedang Larang sehingga wilayah kekuasaan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I menjadi lebih kecil meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura (Tasikmalaya). Setelah menjadi Bupati Pangeran Aria Suriadiwangsa memakai gelar Dipati Kusumadinata III dengan Ibukota pemerintahan dipindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegal Kalong, sedangkan putra Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru, Pangeran Rangga Gede diangkat menjadi bupati Sumedang dan berkedudukan di Canukur, pada masa itu Sumedang di bagi menjadi dua pemerintahan, setelah wafatnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa di Mataram, Sumedang disatukan kembali oleh Rangga Gede dengan Ibukota di Parumasan Kecamatan Conggeang Sumedang.
Pada masa Pangeran Aria Soeriadiwangsa, Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I pergi ke Mataram untuk menyatakan penyerahan Sumedang Larang menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian dan tugas yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I diangkat menjadi Bupati Wadana dan diberi gelar Rangga Gempol atau Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Penyerahan Sumedang ke Mataram karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang dan menghindari pula serangan dari Cirebon. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol adalah Bupati Sumedang yang pertama merangkap Bupati Wadana Prayangan (1620 – 1625). Pada tahun 1614 Sultan Agung mengemukakan pengakuan atas seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon kepada VOC .
Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Rangga Gede . Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempo l1 dari garis keturunan ibunya Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Rangga Gempol 1. Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rangga Gempol 1 dari Sumedang.
Sejak Rangga Gempol menetap di Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633). Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata meninggalkan 5 putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede, meskipun Banten memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa tetapi serangan langsung tentara Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706).
Pada tahun 1641 wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram. Sejak wafatnya Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh /Rangga Gempol II (1633 – 1656) menjadi Bupati Sumedang sedangkan jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung. Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Soeria diwangsa II).
7. SEJARAH TASIKMALAYA DALAM KAITANNYA DENGAN PANGERAN RANGGA GEDE
Cikal bakal Kabupaten Tasikmalaya berasal dari Umbul Surakerta dengan ibukotanya Dayeuh Tengah. Daerah ini sekarang menjadi nama sebuah desa yang termasuk ke dalam Kecamatan Salopa, kira-kira 5 km sebelah Timur Kecamatan Sukaraja. Pada waktu itu, penguasa Negara Surakerta bernama Sareupeun Cibuniagung. Ia memiliki seorang puteri tunggal yang bernama Nyai Punyai Agung (Ageng). Nyai Punyai Agung menikah dengan Entol Wiraha yang menggantikannya menjadi penguasa Surakerta. Dari perkawinan tersebut lahirlah Wirawangsa, yang berkuasa di Surakerta menggantikan ayahnya.
Sewaktu Wirawangsa berkuasa, Surakerta statusnya menjadi umbul. Umbul Surakerta termasuk wilayah Priangan yang dipegang oleh Dipati Ukur Wangsanata.
Ketika Dipati Ukur diperintah Sultan Agung untuk menyerang Batavia bersama-sama tentara Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Bahurekso, Dipati Ukur membawa sembilan umbul, di antaranya, Umbul Surakerta, Wirawangsa. Tetapi Dipati Ukur gagal dalam penyerangan itu. Ia bersama sebagian tentaranya mengundurkan diri ke Gunung Pongporang yang terletak di Bandung Utara dekat Gunung Bukitunggul. Tindakannya dianggap oleh Mataram sebagai pemberontakan sehingga Dipati Ukur dikejar-kejar tentara Mataram.
Karena tindakan Dipati Ukur itu dianggap membahayakan, Sultan Agung memerintahkan untuk menangkapnya hidup atau mati dengan suatu perjanjian, bahwa barangsiapa yang berhasil menangkap Dipati Ukur akan diberi anugerah. Pada waktu itu yang menjadi bupati wedana di Priangan sebagai pengganti Dipati Ukur adalah Pangeran Rangga Gede, dan diminta untuk menangkap Dipati Ukur, tetapi tidak berhasil karena dia meninggal pada waktu menjalankan perintah itu.
Dipati Ukur tertangkap di daerah Cengkareng sekarang oleh tiga umbul Priangan Timur, kemudian dibawa ke Mataram, dan oleh Sultan Agung dijatuhi hukuman mati. Ketiga umbul yang ikut menangkap Dipati Ukur adalah Umbul Surakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala, dan Umbul Sindangkasih Ki Somahita. Ketiga umbul tersebut juga menangkap delapan umbul lainnya yang biluk (setia) kepada Dipati Ukur. Atas jasanya, ketiga umbul tersebut diangkat menjadi mantri agung di tempatnya masing-masing. Ki Wirawangsa diangkat menjadi mantri agung Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, Ki Astamanggala diangkat menjadi mantri agung Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, dan Ki Somahita menjadi mantri agung Parakanmuncang digelari Tumenggung Tanubaya.
Setelah diangkat menjadi mantri agung Sukapura, kota kabupaten pun dipindahkan dari Dayeuh Tengah di Sukakerta ke Leuwi Loa (wilayah desa Sukapura) daerah Sukaraja sekarang, terletak di tepi sungai Ciwulan. Oleh karena ibukota pindah ke Sukapura, nama kabupaten pun disebut Kabupaten Sukapura. Perubahan nama Leuwi Loa menjadi Sukapura berdasarkan alasan karena di Leuwi Loa didirikan pura yang bermakna ‘kraton’ dan suka bermakna ‘asal’ atau ‘tiang’. Jadi, sukapura bermakna jejernya karaton karena di tempat inilah berdirinya bupati Sukapura yang pertama.
Raden Tumenggung Wiradadaha (Wiradadaha I) yang berjasa mendirikan Kabupaten Sukapura wafat, dan dimakamkan di Pasir Baganjing sehingga terkenal dengan sebutan Dalem Baganjing.
Pengganti Wiradadaha I adalah putranya yang ketiga yang bernama Raden Jayamanggala dengan gelar raden Tumenggung Wiradadaha II. Namun, Wiradadaha II tidak lama berkuasa karena pada tahun pengangkatannya sebagai tumenggung meninggal dunia karena dihukum mati. Keluarganya hanya mendapatkan tambela (keranda) yang berisi mayat Wiradadaha II. Oleh karenaitu, Wiradadaha II terkenal dengan julukan Dalem Tambela.
Setelah meninggal dunia, Raden Wiradadaha II digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Anggadipa I, putra keempat Wiradadaha I. Setelah menjadi bupati, Raden Anggadipa bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha III. Dia terkenal sebagai bupati Sukapura terkaya dan memiliki anak sebanyak 62 orang hingga ia dikenal dengan Dalem Sawidak.
Setelah meninggal dunia, Wiradadaha III digantikan oleh anaknya Raden Subangmanggala dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha IV. Raden Wiradadaha IV meninggal dunia dan dimakamkan di Pamijahan dekat gurunya Syeh Abdul Muhyi dan dikenal dengan sebutan Dalem Pamijahan.
Raden Wiradadaha IV digantikan oleh anak angkatnya yang bernama Raden Secapati. Raden Secapati adalah cucu Dalem Tamela. Setelah diangkat menjadi bupati, dia menggunakan nama Raden Tumenggung Wiradadaha V, tetapi lebih dikenal dengan sebutan Dalem Tumenggung Secapati.
Setelah wafat, Wiradadaha V digantikan oleh putranya yang bernama raden Jayangadireja dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha VI. Ia menikahi putri bupati Parakanmuncang. Karena sering bertolak belakang dengan pemerintah Kolonial, Wiradadaha VI mengundurkan diri, dan digantikan oleh anaknya Raden Jayamanggala II dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha VII atau Raden Adipati Wiratanubaya. Karena dimakamkan di Pasirtando, beliau terkenal dengan sebutan Dalem Pasirtando.
Pengganti Wiradadaha VII adalah putranya yang kelima Raden demang Anggadipa dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha VIII. Ia terkenal dengan sebutanh Dalem Sepuh. Ketika ia menolak menanam nila, Wiraradaha VIII dipecat, Sukapura dialihkan ke Kabupaten Limbangan.
Kabupaten Sukapura didirikan kembali dengan bupatinya turunan bupati Sumedang, yakni raden Tumenggung Surialaga, yang lebih dikenal dengan sebutan Dalem Talun. Dua tahun kemudian, Dalem Talun mengundurkan diri, kabupaten Sukapura diserahkan kembali ke bupati Limbangan. Namun, selanjutnya dikembalikan lagi ke Wiradadaha VIII dari bupati Limbangan, kecuali daerah Suci dan Panembong.
Pada masa kekuasaan Widadaha VIII, Sukapura memiliki wilayah yang sangat luas. Wilayahnya meliputi sebagian dari Sumedang: Malangbong, Ciawi, Indihiang, Singaparna, dan Tasikmalaya; sebagian dari Galuh: Pasirpanjang, Banjar, Kawasen, Parigi, Cijulang, Mandala, Cikembulan, dan Kalipucang. Wilayah Sukapura asalnya hanya distrik Mangunreja, Panyeredan, Taraju, Sukaraja, Parung, Karang, Cikajang, batuwangi, Nagara (Pameungpeuk), tanah yang luas ini disebut Tanah Galunggung.
Karena terlalu luas, Kabupaten Sukapura dibagi tiga bagian, yakni afdeeling Sukapura Kolot, Sukapura, dan Tasikmalaya. Sukapura Kolot dengan ibukota Mangunreja meliputi dua afdeling, yakni afdeeling Mangunreja (Panyeredan, Karang, Sukaraja, Taraju, Parung), dan afdeeling Cikajang (Batuwangi, Kandangwesi, Nagara, dan Selacau). Sukapura meliputi dua afdeeling, yakni afdeeling Manonjaya (Pasirpanjang, Banjar, Kawasen) dan afdeeling Parigi (Parigi, Cijulang, Mandala, Cikembulan, dan Kalipucang). Afdeeling Tasikmalaya Tasikmalaya mencakup Ciawi, Indihiang, dan Malangbong.
Setelah memiliki wilayah yang luas, ibukota Sukapura di Sukaraja dipindahkan ke Manonjaya. Pada waktu itu, Wiradadaha VIII wafat dan dimakamkan di Tanjung Malaya. Kemudian digantikan oleh adiknya R.T. Danuningrat dengan gelar R.T. Wiradadaha IX, yang membangun Kota Manonjaya. Setelah wafat, Danuningrat digantikan Raden Rangga Wiradimanggala dengan gelar R.T. Wiratanubaya sebagai bupati Sukapura X.
Setelah wafat, R.T. Wiratanubaya lebih dikenal dengan sebutan Dalem Sumeren. Karena tidak punya anak, Wiratanubaya digantikan oleh Raden Rangga Tanuwangsa dengan gelar raden Wiraadegdaha (bupati Sukapura XI). Kemudian digelari Adipati sehingga namanya menjadi Raden Adipati Wiraadegdaha. Karena diturunkan dari jabatannya, R.A. Wiraadegdaha pindah ke Bogor dan terkenal dengan sebutan Dalem Bogor. Jabatannya digantikan adiknya Raden Demang Danukusumah, patih Manonjaya. Setelah menjadi bupati, namanya menjadi R.T. Wirahadiningrat, bupati Sukapura XII. Dia pernah diberi gelar adipati, mendapat payung kuning, dan Bintang Oranye Nassau, sehingga mendapat sebutan Dalem Bintang.
Dalem Bintang wafat. Penggantinya adalah Raden Rangga Wiratanuwangsa, putranya Dalem Bogor. Setelah menjadi bupati, diganti namanya menjadi R.T. Wiraadiningrat, bupatui Sukapura XIII. Pada masa ini, ibukota Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya. Dia bupati pertama yang mendapat gelar aria, sehingga terkenal dengan sebutan Dalem Aria.
Setelah wilayah afdeeling Mangunreja menjadi bawahan Sukapura, dan afdeeling Cikajang menjadi bawahan Kabupaten Limbangan, sedangkan Distrik Malangbong dibagi dua, yakni sebagian bawahan Limbangdan dan sebagian bawahan Sumedang. Sejak itulah, Sukapura berubah nama menjadi Tasikmalaya.
Pada awalnya daerah yang disebut Sukapura itu bernama Tawang atau Galunggung. Sering juga disebut Tawang-Galunggung. Tawang berarti ‘sawah’ atau ‘tempat yang luas terbuka’. Penyebutan Tasikmalaya muncul untuk pertama kali setelah Gunung Galunggung meletus sehingga wilayah Sukapura berubah menjadi Tasik ‘danau, laut’ dan malaya dari (ma)layah bermakna ‘ngalayah (bertebaran)’ atau ‘deretan pegunungan di pantai Malabar (India)’. Tasikmalaya mengandung arti ‘keusik ngalayah’, maksudnya banyak pasir di mana-mana.(Dedi Soemamihardja)
Salam Santun Urang Sumedang....
Penulis : Asli urang Sumedang sejak kecil dari jaman Buyut tinggal di Sumedang, Patung sekarang Jalan Mayor Abdurahman.
Referensi :
=======
• Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
• Sejarah singkat Kabupaten Sumedang – sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
• Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
• Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.
• Bupati Di Priangan, Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana Hardjasaputra, dalam buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda (Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
• Sejarah singkat Kabupaten Sumedang, sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
• Sumedang dari masa kemasa : sumedanglarang. blogspot.com, 16 Mei 2010.
• Bupati Di Priangan, Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana Hardjasaputra, dalam buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda (Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
• Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522 – 1684. Kajian Arkeologi Ekonomi, Heriyanti Ongkodharma Untoro, Fakultas Ilmu Pengerahuan Budaya, Jakarta – 2007.
• Rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk, 1983 – 1984.
• Wawancara
BELAJAR EMPATI...
Sore itu di dalam KRL jurusan Jakarta - Depok, suasana cukup tenang. Kereta listrik itu cukup padat oleh orang2 yg baru pulang kerja.
Tiba2, suasana tenang itu terganggu oleh ulah dua orang bocah kecil berumur sekitar 3 dan 5 tahun yg berlarian kesana kemari.
Mereka berdua mulai mengganggu penumpang lain.
Yg kecil mulai menarik2 koran yg sedang dibaca oleh seorang penumpang, kadang merebut pena ataupun buku penumpang yg lain.
Si kakak berlarian kesana kemari hingga menabrak kaki beberapa penumpang yg berdiri menggantung karena penuhnya gerbong itu.
Beberapa penumpang mulai terganggu oleh ulah kedua bocah nakal itu, dan bbrp orang mulai menegur bapak dari kedua anak tsb.
"Pak, tolong dong anaknya dijaga!" pinta salah seorang penumpang.
Bapak kedua anak itu memanggil dan menenangkannya.
Suasana kembali hening, dan kedua anak itu duduk diam.
Tak lama kemudian, keduanya mulai bertingkah seperti semula, bahkan semakin nakal.
Apabila ada yg diusilin masih diam saja, kedua anak itu makin berani.
Bahkan ada yg korannya sedang dibaca, langsung saja ditarik dan dibawa lari.
Bila si-empunya koran tidak bereaksi, koran itu mulai dirobek2.
Beberapa penumpang mulai menegur sang ayah lagi dg nada mulai kesal.
Mereka benar2 merasa terganggu, apalagi suasana pulang kerja, mereka masih sangat lelah.
Sang ayah yg masih muda dan terlihat sangat sederhana, memanggil kembali kedua anaknya, dan keduanya mulai diam lagi.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Si anak mulai membuat ulah yg semakin membuat para penumpang di gerbong itu mulai marah.
Beberapa penumpang mulai memarahi sang ayah dan membentak.
"Pak, bisa mendidik anak tidak sih!" kata seorang penumpang dg geram.
"Dari tadi anaknya mengganggu semua orang disini, tapi Anda koq diam saja".
Sang ayah bangkit dari duduknya, menghampiri kedua anaknya yg masih mungil, menenangkannya, dan dg sangat sopan berdiri dan berkata kepada para penumpang yg ada di gerbong itu.
"Bapak2 dan ibu2 semua, mohon maaf atas kelakuan kedua anak saya ini. Tidak biasanya mereka berdua bertingkah nakal seperti saat ini.
Tadi pagi, kedua anak saya ini baru saja di tinggal oleh ibu mereka yg sangat mereka cintai.
Ibu kedua anak saya ini meninggal karena penyakit LEUKEMIA yg dideritanya…"
Bapak sederhana itu diam sejenak, terlihat airmatanya menggenang di pelupuk matanya, dan sambil mengelus kepala kedua anaknya meneruskan kata2nya.
"Mungkin karena kejadian yg menimpa ibu mereka berdua itu begitu mendadak, membuat kedua anak saya ini belum bisa menerima kenyataan dan agak sedikit shock karenanya.
Sekali lagi saya mohon maaf…”
Seluruh orang di dalam gerbong kereta KRL itu seketika terdiam.
Sikap mereka tiba2 berubah total, dari memandang dg perasaan kesal karena kenakalannya, berubah menjadi perasaan iba dan sayang.
Kedua anak itu masih tetap nakal, mengganggu seluruh penumpang yg ditemuinya.
Tetapi, orang yg diganggu malah menampakkan kasih sayangnya.
Ada yg memberinya coklat, bahkan ada yg menemaninya bermain…
***
Saudara-riku tercinta…
Begitu pentingnya sebuah INFORMASI… bisa mengubah semua atmosphere lingkungan kita.
Seringkali kita salah paham dg sahabat/ saudara kita, karena kita tidak mengetahui informasi yg sebenarnya, hingga membuat atmosphere yg buruk dg sahabat kita.
Mungkin kita pernah berprasangka buruk kpd saudara kita, karena tidak tabayun/klarifikasi informasi yg sebenarnya.
Selalulah berprasangka dan berfikir positif. Karena prasangka itu akan selalu kembali kepada diri kita sendiri.
“Hai orang2 yg beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena prasangka (negatif) itu dosa. Dan janganlah mencari2 keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yg suka memakan daging saudaranya yg sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
(QS.49:12)
KISAH SEORANG BOCAH YANG MEMBELI BONEKA DENGAN KERANG
Inilah kisah tentang bocah lelaki yang belum genap 10 tahun, tapi bersikap dewasa. Dengan berani dia membeli boneka beruang dengan kerang demi adik perempuannya.
Suatu siang, seorang bocah lelaki yang belum genap 10 tahun, pergi ke pusat perbelanjaan dengan adiknya yang masih kecil.
Ketika mereka sedang berjalan-jalan, tiba-tiba sang adik berhenti di depan etalase suatu toko. Rupanya itu adalah sebuah toko mainan. Di etalase toko itu tampak ada banyak boneka.
Wajah sang adik sangat terpesona pada boneka yang ada di dalam etalase tersebut.
Sang kakak kemudian bertanya : “Apakah kamu menginginkan sesuatu?” Sang adik langsung menunjuk satu boneka beruang yang ada di etalase tersebut.
Seperti orang dewasa, sang kakak ini masuk ke dalam toko. Usianya tentu belum genap 10 tahun namun ia dengan berani berkata pada sang pemilik toko : “Berapa harga boneka ini, Pak?” Sang kakak berkata sambil menunjuk boneka beruang yang sudah diambil oleh adiknya.
Sang pemilik toko sesaat terkejut. Ia merasa kaget dengan sikap sang kakak yang sangat dewasa dan perhatian pada adiknya itu.
Sang pemilik toko yang baik hati dan pemurah ini kemudian menjawab : “Berapa banyak yang bisa kamu bayar, Nak?”
Tiba-tiba sang anak mengeluarkan kerang dari kantongnya, kerang-kerang yang ia kumpulkan dari pantai itu diletakkannya di meja kasir.
Tanpa berkata sepatah kata pun, sang pemilik toko ini mengambili satu per satu kerang tersebut. Ia kemudian menghitung kerang-kerang itu seakan sedang menghitung uang sungguhan.
Dengan wajah takut dan sedikit cemas, bocah ini berkata lagi : “Apakah kerang-kerang itu kurang, Pak?”
Sambil tersenyum, sang pemilik toko itu menjawab : “Oh, tidak, tidak. Ini justru lebih dari cukup! Aku justru harus mengembalikan kepada kamu sisanya.”
Sang pemilik toko kemudian mengambil empat kerang itu dan mengembalikan sisanya pada sang bocah lelaki. Wajah anak ini kemudian terlihat sangat bahagia. Ia pun mengambil kerang-kerang sisanya dan memasukkannya lagi ke kantong. Ia kemudian tersenyum pada adiknya yang sudah memeluk boneka barunya dengan sangat senang. Mereka berdua kemudian keluar dari toko dengan gembira.
Salah satu pegawai yang melihat hal itu kemudian berkata : "Pak, bagaimana mungkin kamu memberikan sebuah boneka yang mahal hanya dengan bayaran empat kerang tak berharga ini?"
Pemilik toko itu menjawab : "Nah, bagi kita tentu ini hanyalah sekadar kerang tak berharga, namun bagi anak itu kerang-kerang tadi merupakan harta yang tak ternilai.”
Setelah berhenti sejenak, pemilik toko ini berkata lagi : "Kelak ketika ia dewasa, ia akan ingat pernah membeli sebuah boneka untuk adik kesayangannya dengan memakai kerang, bukan uang. Pada saat itulah ia akan mengingat bahwa di dunia ini tentu masih ada orang baik. Dengan itu ia akan termotivasi untuk menjadi orang yang baik juga.”
Emosi yang kita tebarkan akan menyebar.
Jika kita menyebarkan kebaikan, dunia akan dipenuhi kebaikan.
Jika kita menebarkan keburukan, maka keburukan yang akan menyebar.
Pasti udah sering naik pesawat kan yah ?
Tapi pasti kebanyakan orang belum tahu alasan kenapa waktu take off sama landing , pramugari selalu minta untuk tegakin sandaran kursi, tray table nya harus di tutup, penutup jendela harus dibuka, terus yg duduk di deretan pintu harus free dari semua tas dll?
Jadi, alasannya karena 90% kecelakaan pesawat terjadi saat take off dan landing.
90% kecelakaan pesawat terjadi di 8 menit setelah take-off dan 3 menit sebelum landing.
Sehingga disebut juga "Critical Eleven"
Dan disaat itu terjadi, penumpang cuma punya waktu 90 detik buat keluar dari pesawat.
Kalo ga keluar, penumpang bisa mati karna berbagai hal, dari smoke inhalation atau kekurangan oxygen, atau pesawat sinking incase of ditching (water landing).
Satu emergency exit di cabin, didesain buat evacuate sekitar 65 orang dalam waktu 1.5 menit itu. Tegakin sandaran apalagi disaat panik, bisa habisin waktu 10 detik, dan disaat evacuation 1 detik itu udah masalah hidup dan mati.
Biasakan untuk menegur kalo penumpang didepan kita tidak menegakan sandaran kursinya, karena disaat ada emergency landing, yang bakalan kena dampak adalah orang yg duduk dibelakangnya.
Karna bakal trapped (terjebak) dan ga bisa keluar dari kursi....sedangkan penumpang di depan itu pasti akan lari keluar secepat mungkin supaya bisa selamat.
Bukan cuma itu, dalam penerbangan dimalam hari, lampu cabin juga pasti diredupkan?
Alasannya sama, karna dalam waktu 90 detik semua penumpang harus keluar maka ga ada waktu yang boleh terbuang.
Disaat mata terbiasa melihat terang kemudian lampu mati, pasti butuh beberapa waktu supaya mata bisa adaptasi dengan pencahayaan yg gelap...maka dari itu lampu sengaja diredupkan supaya mata tidak perlu adaptasi lagi disaat ada emergency landing.
Kalo penutup jendela kabin mesti dibuka itu kenapa ?
Di training pilot dan pramugari ada kelas yg namanya "CRMC", jadi kelas tentang komunikasi.
Karena 70% lebih kecelakaan pesawat terjadi karna kurang komunikasi antara semua orang, yaitu antara pramugari, pilot maupun penumpang.
Dalam penerbangan kita harus gunakan semua info yg ada , termasuk dr penumpang.
Kaca dibuka supaya penumpang bisa liat keadaan luar.
Contoh ada kebakaran di sayap, kapten ga bisa liat, pramugari ga liat. mungkin malah penumpang yg liat dan bisa kasih info supaya bisa secepat mungkin evakuasi
Atau kalo di negara Eropa , kadang sayap pesawat beku krn ada es, penumpang bisa liat dan kasih info supaya kapten tau dan kita bisa melakukan perbaikan sebelum terbang.
Jadi kesimpulannya, dengerin mbak pramugarinya.. karena kalo ada accident, yg bakal kena akibatnya adalah penumpang itu sendiri.
Jadi jangan main main dengan safety
Reveneuhits merupakan jaringan iklan yang berbasis PPC (membayar ketika ada yang mengklik), CPM (membayar perseribu tampilan) dan CPA (membayar ketika ada orang yang terlibat dengan iklan seperti mendownload dll), sebenarnya iklan revenuehits sangat cocok untuk blog yang berniche game, software, download, crack dan semacamnya karena kebanyakan dari iklan yang ditampilkan berbentuk banner yang bertuliskan download namun tidak ada salahnya blog berniche lain juga dipasangi iklan revenuehits.
Jenis Iklan yang Tersedia di RevenueHits
Iklan banner
Intensitial
Iklan Slider
Pop Under
Iklan Footer
Iklan Mobile
Dan masih banyak yang lainnya.
Cara Daftar Ke BloggerKlik DiSini
Dari semua jenis iklan yang tersedia yang paling besar dalam earningnya adalah jenis iklan pop under dan intensitial, iklan pop under muncul ketika ada pengunjung yang mengklik bagian dari blog kita dan intensitial adalah iklan redirect link yang menuju web lain yang merupakan advertiser dari revenuehits, semua itu tergantung anda ingin menggunakan jenis iklan seperti apa yang terpenting adalah jumlah traffic blog anda karena traffic berpengaruh besar terhadap penghasilan anda.
Metode Pembayaran Revenuehits
Pembayaran akan langsung diterima setelah Net 30 artinya kita akan mendapatkan bayaran secara otomatis setelah genap 30 hari setelah mencapai jumlah minimum Payout.
Paypal Minimal Payout $20
Wire Transfer Minimal Payout $500
Payoneer Minimal Payout $20
Demikianlah sekilas info tentang revenueHits jika anda ditolak oleh google adsense.
Kali ini saya akan cerita atau berbagi informasi sedikit tentang Adsense Camp Indonesia, jika anda selalu di tolak oleh google adsense karena tidak sesuai dengan kriteria dari google adsense. jika anda ingin mendapatkan penghasilan dari blog yang anda kelola anda bisa mendaftarkan blog anda ke Adsense Camp Indonesia, tanpa menunggu Review Yang lama, blog anda langsung di approve oleh Adsense Camp ini.
Sebelumnya yang kita kenal PTC Amerika yaitu Google Adsense, sekarang tidak salahnya kita untuk mencoba PTC Indonesia yaitu AdsenseCamp.
Dan pembayarannya pun langsung di transfer lewat rekening pribadi kita dan jumlahnya Rp.10.000,-. Cara Registrasi dan pemasangan iklannya pun cukup mudah, Kita hanya perlu daftar (gratis), menambahkan blog kita ke directorynya, memasang iklan di blog kita, dan siap - siap rekening bank kita akan di kirimi uang oleh AdsenseCamp.dibawah ini adalah contoh dari iklan Adsense Camp Indonesia.
Berikut Cara Mendapatkan Uang dari AdsenseCamp :
Baca juga aplikasi my chat messenger terbaru Gratiss!!
1. Kunjungi AdsenseCamp
2. Pada halaman utama, silahkan sobat Klik "CREATE PUBLISHER ACCOUNT" untuk mendaftarkan akun sebagai publisher
3. Isikan semua data - data sobat pada kotak yang tersedia, bila sudah Klik Submit
4. Setelah formulirnya di isi, sobat akan di kirimi email oleh AdsenseCamp. Silahkan ikuti link yang ada pada email tersebut untuk masuk ke akun adsensecamp sobat
5. Bila sudah login, Klik Menu publisher-manage channel.
6. Pada halaman manage channel, silahkan tambahkan channel baru sobat untuk menampilkan iklan pada blog.
7. Bila sudah, pilih menu pasang script iklan. Pilih tampilan iklan sesuai keinginan sobat lalu Klik "Pilih Tampilan Iklan" untuk menampilkan kode iklan.
8. Kemudian bila sudah di copy, sobat pasang pada blog sobat. (Letakkan iklannya pada tempat yang sering dilihat oleh pengunjung)
9. Selesai
Check Page Rank of your Web site pages instantly:
This page rank checking tool is powered by PRChecker.info service
KERAJAAN PAJAJARAN – Kerajaan Pajajaran ialah nama lain dari Kerajaan suku Sunda, yang mana Kerajaan Pajajaran tersebut berada di daerah Pakuan, Kota Bogor, Jawa Barat. Kata Pakuan ini diambil dari kata Pakuwuan yang mempunyai arti kota, kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang mengatakan ibu kota seagai sebutan kerajaan.
Ada beberapa catatan yang mengatakan bahwa Kerajaan Pajajaran ini berdiri kurang lebih sekitar pada tahun 923 Masehi dan didirikan atau dibentuk oleh Sri Jayabhupati, ibarat yang tercantum didalam Prasasti Sanghyang Tapak tahun 1030 Masehi yang dijumpai di Desa Pangcalikan dan Desa Bantarmuncang, Cibadak, Sukabumi, dan pinggir Sungai Cicatih.
Di akhir tahun 1400-an Kerajaan Majapahit mulai menyurut. Pemberontakan dan kegegeran terjadi dimana – mana, masing-masing antar saudara sedarah saling berebutan kekuasaan kerajaan.
Baca juga adsense-camp-indonesia
Masa kejatuhan atau kerobohan kepemimpinan Brawijaya V ini yang kemudian mengakibatkan kerabat-kerabat Kerajaan Majapahit berlindung atau menyelamatkan diri ke ibukota Kerajaan Galuh di daerah Kawali, Kuningan, Jawa Barat.
Raden Baribin ialah merupakan seorang keluarga dari Prabu Kertabumi yang ikut serta dalam pemindahan atau pengungsian tersebut. Kemudian Kerajaan Galuh pun menerima dan menyambut kedatangan Kerajaan Majapahit dengan baik dan damai.
Sampai-sampai Raja Dewa Niskala menikahkan Ratna Ayu Kirana putri yang berasal dari Kerajaan Galuh dengan Raden Barin yang mana Raden Barin ini ialah masih termasuk sanak famili dari Prabu Kertabumi. Pernikahan-pernikahan yang diadakan oleh Raja Galuh tidak berhenti disitu saja.
Raja Galuh selain dari menikahkan Ratna Ayu Kirana putri dari raja Kerajaan Galuh dengan Raden baribin, Raja Galuh juga menikahkan kembali salah satu sanak keluarg pengungsi dari rombongan Kerajaan Majapahit.Setelah pernikahan ini berlanjut, ternyata adanya penyelanggaraan pernikahan ini mengakibatkan terjadinya kemarahan dari Kerajaan Sunda. Kemudian Kerajaan Sunda ini menanggapi bahwa Dewa Niskala dan Raja Galuh sudah menyalah gunakan aturan-aturan yang memang telah disetujui dari kedua kerajaan tersebut.
Peraturan ini ialah peraturan yang keluar semenjak terjadinya peristiwa-peristiwa Bubat yang mengatakan bahwa dari Kerajaan Sunda dilarang untuk menikah dengan Kerajaan Majapahit, nah akibat dari adanya pernikahan dari Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit hampirnya saja terjadinya peperangan antar kedua kerajaan tersebut.
sebenarnya kedua kerajaan tersebut adalah besan. Pengucapan kata besan itu dikarenakan Jayadewata anak dari Dewa Niskala menikah dengan putri dari anak raja Kerajaan Sunda, Raja Susuktunggal.
Untungnya ketika akan terjadinya peperangan antara kedua kerajaan tersebut, dewa penasehat bisa meredam semua amarah dari kedua pihak sehingga diputuskan dua raja dari kedua kerajaan tersebut turun jabatan, Kedua raja tersebut harus menaruh posisi mereka kepada putera-putera mahkota yang akan ditunjuk oleh masing-masing kerajaan.
Kemudian Dewa Niskala menunjuk anak dari Jayadewata, tidak hanya Dewa Niskala saja yang memilih anak dari Jayadewata Prabu Susuktunggal pun menunjuk dengan tunjukan yang sama persis dengan tunjukkan Dewa Niskala yaitu anak dari Jayadewata.
Lalu Jayadewata menyatukan kembali kedua kerajaan tersebut dan membawa nama Sri Baduga Maharaja yang memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482. Kemudian nama Pakuan Pajajaran pun menjadi terkenal sebagai nama kerajaan
Sejarah Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran adalah salah satu kerajaan hindu yang letaknya di daerah Pulau Jawa, yakni berada di bagian Pulau Jawa bagian barat yang beribu kota di daerah Bogor. Diterangkan dari beberapa sumber yang ditangkap menerangkan bahwa Sejarah Pajajaran atau Kerajaan Pajajaran ini dibentuk pada tahun 923 Masehi.
Yang mana Kerajaan Pajajaran ini dibentuk dan didirikan oleh Sri Jayabhupati yang juga dikatakan didalam prasasti Sang Hyang Tapak di desa Banrarmuncang dan Pancilakan Sukabumi.
Didalam sejarah, Kerajaan Pajajaran ini terbentuk sesudah meninggalnya Wasta Kencana yang mana Wasta Kencana ini meninggal kurang lebih pada tahun 1475 mengikuti sejarah Kerajaan Galuh. Raja dari kerajaan ini dibagi menjadi dua bagian sesudah meninggalnya Rahyang Wastu Kencana.
Dewa Niskala dan Prabu Susuktunggal ialah merupakan dari dua bagian dari Kerajaan Galuh yang mempunyai tingkatan yang sama.
Kerajaan Pajajaran yang letaknya berada di wilayah Kota Bogor dibawah dari kepemerintahan Prabu Susuktunggal dan Kerajaan Galuh yang meliputi Parahyangan yang mana Parahyangan ini bertepatan di wilayah Kawali kawasan Dewa Siskala.
Kedua raja itu tidak mendapatkan gelar Prabu Siliwangi, karena kekuasaan-kekuasaan mereka tidak meliputi seluruh wilayah tanah sunda.
Berbeda sekali dengan Prabu Siliwangi yang awalnya diduduki oleh Prabu Wangi dan Rahyang Wastu. Sebelum terbentuknya Kerajaan Pajajran, berikut ini terdapat beberapa kerajaan-kerajaan yang mungkin perlu kalian ketahui untuk menambah wawasan tentang sejarah.
Kerajaan tersebut ialah terdiri dari Tarumanegara, Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Kawali.
Misteri Hilangnya Kerajaan Pajajaran
Sebenarnya Kerajaan Pajajaran ini tidak lepas dari kerajan-kerajaan tersebut, karena Kerajaan ini ialah sambungan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Kisah-kisah misteri dari menghilangnya kerajaan ini disebabkan adanya penyerangan dari kerajaan lain.
Sehingga pada masa itu kurang lebih pada tahun 1579 Kerajaan Banten lah yang menyelesaikan atau mengakhiri Kerajaan Pajajaran.
Pasukan-pasukan yang diketuai atau dipimpin oleh Maulana Yusuf membawa kedudukan Raja dari Pakuan ke Surasowan di daerah Banten sebagai tanda sudah runtuhnya Kerajaan Pajajaran. Kedaton yang dibawa lari itu bentuknya seerti bongkahan batu yang memiliki ukuran 200 x 160 x 20 cm.
Pasukan Kerajaan Banten yang dibawah kepemerintahan Maulana Yusuf memboyong kembali ke Banten sebagai sebuah bentuk budaya politik di jaman dulu yang memiliki tujuan supaya di Pakuan tidak bisa melantik seseorang untuk dijadikan sebagai raja yang baru dan Maulana Yusuflah secara otomatis menjadi raja tersebut.
Silsilah Prabu Siliwangi
Prabu Jayadewata atau yang lebih populer dengan sebutan Prabu Siliwangi ialah merupakan seorang raja yang memiliki pengaruh tinggi di wilayah tanah sunda. Gelar atau julukan Siliwangi yang pegangnya bukan berarti tidak memiliki arti tersendiri.
Arti dari kata Siliwangi adalah orang yang mengambil alih Raja Wangi. Sampai detik ini, menurut sejarah saat ini banyak sekali yang mencatat raja yang mendapati julukan Siliwangi. Jadi, sudah tidak di herankan kembali apabila sejarah atau silsilah Prabu Siliwangi dapat dikatakan agak rumit.
Tetapi, berdasarkan cerita dari Eyang Androi Cigondewah, sejarah atau silsilah Prabu Siliwangi ini awal mulanya berawal dari keturunan-keturunan Maharaja Adi Mulya. Dari keturunan tersebut keluar 3 nama besar, yakni Prabu Ciung Wanara, Prabu Lingga Hiang dan Sri Ratu Purbasari
Prabu Lingga Hiang ini mempunyai 2 orang putra, Cakrawati dan Prabu Lingga Wesi itulah anak dari Prabu Lingga Hiang. Dari keturunan-keturunan Prabu Lingga Wesi inilah keluar nama Susuk Tunggal, Banyak Wangi, Banyak Larang, Prabu Mundingkawati (Siliwangi I), Prabu Linggawastu dan Prabu Anggalarang (Siliwangi).
Dari garis silsilah Angga Larang, keturunan Prabu Siliwangi dilanjutkan oleh Prabu Siliwangi yakni Prabu Jaya Pupukan dan R. Rangga Pupukan
Silsilah Prabu Siliwangi dari Seorang Maharaja Adi Mulya
Maha Raja Adi Mulya atau Ratu Galuh Ajar Sukaresi menikah dengan Nyai Ujung Sekarjingga atau Dewi Naganingrum dan memliki putra:
Prabu Ciung Wanara
Sri Ratu Purba Sari
Prabu Lingga Hiang
Prabu Susuk Tunggal
Prabu Lingga Wesi
Prabu Banyak Larang
Brabu Banyak Wangi
Prabu Lingga Buana atau Prabu Mung Kawati
Prabu Wastu Kencana
Prabu Anggalarang
Kesaktian Prabu Siliwangi
Kisah cerita tentang betapa saktinya Prabu Siliwangi ini memang selalu membuat diri kita untuk mengetahui betapa banyaknya kesaktian-kesaktian yang dimiliki oleh Prabu Siliwangi sang legenda dari Kerajaan Pajajaran. Pada umumnya tidak mungkin sekalin apabila seluruh daerah kekuasaan kerjaan yang di pimpin olehnya jikalau raja dari kerajaan tersebut tidak mempunyai ilmu kanuragan yang mumpuni.
Ilmu kanuragan apa yang sesungguhnya dimiliki Oleh sang raja dari Kerajaan Pajajaran? Kisah cerita tentang sejarah Prabu Siliwangi ini memang sangat menarik sekali untuk di analisa lebih jelas lagi. Bahkan didalam sebuah kisah sejarah Prabu Siliwangi ini terdapat banyak sekali cerita-cerita yang hingga saat ini masih menjadi misteri.
Selain dari kisah-kisah yang sampai saat ini masih dibilang menjadi kisah misteri, pertarungan sengit dengan Raden Kian Santang dari keturunannya sendiri pun hingga saat ini belum begitu jelas kisah cerita yang sebenarnya.
Prabu Siliwangi ini sangat dikenal sekali sebagai salah satu Pemimpin atau raja dari Kerajaan Pajajaran sebagaimana telah dijelaskan melalui tulisan didalam kitab Suwasit, yang mana kitab Suwasit ini menceritakan tentang sejarah Kerajaan Pajajaran yang berisi tulisan-tulisan mengenai kisah perjalanan Prabu Siliwangi.
Sebelum Prabu Siliwangi menjadi raja, di masa kecil nya Prabu Siliwangi ini di didik dan diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang pakar di Pelabuhan Muara Jati pada di daerah Kerajaan Singapura (Lokasi tersebut saat ini dikenal dengan Kota Cirebon) dan Prabu Siliwangi ini ialah keturunan ke 12 dari Maharaja Adimulia.
Sesudah Prabu Anggararang memiliki perasaan bahwa putranya tersebut pantas menduduki jabatan Raja Gajah sesudah kepemimpinannya, dan pada akhirnya kedudukan raja diserahkan kepada Pangeran Pamanah Rasa (sebelum di beri gelar Siliwangi)
Pertarungan Prabu Siliwangi
Di tanah Sunda Jawa Barat, tidak ada satu orang pun yang tidak kenal dengan nama Prabu SIliwangi yang mana Prabu Siliwangi ini adalah seorang raja dari Kerajaan Pajajaran yang sangat identik dengan ilmu-ilmu kesaktiannya, yaitu ajian harimau putih sangat dikenal sebagai salah satu yang pernah dipunyai oleh tanah Pasundan, Jawa Barat.
Didalam Kitab Suwasit, diceritakan bahwa seorang yang bernama Pangeran Pamanah Rasa ialah merupakan anak putra mahkota dari Prabu Anggararang penguasa KErajaah Gajah untuk meneruskan kerajaan ayah nya sebagai Raja Gajah selanjutnya
Dikisahkan juga di tengah-tengah kepemimpinannya menjadi seorang raja, Prabu Pamanah Rasa sering yang namanya menggembara hewan ke suatu wilayah. Didalam perjalanan menggembaranya, Prabu Ramanah Rasa dihalangi oleh siluman Harimau Putih di kawasan hutan yang letak lokasinya sekarang berada didaerah Majalengka.
Karena diantara mereka berdua merasa terganggu satu sama lain pertempuran tidak bisa dihindarkan. Kesaktian-kesaktian yang dimiliki oleh Prabu Siliwangi dan Siluman Harimau Putih yang diketahui mempunyai kesaktian yang begitu tinggi juga bertarung dan bertempur dengan sengit.
Akan tetapi, kesaktian yang dimiliki oleh seorang raja dari Kerajaan Pajajaran yaitu Prabu Siliwangi namanya berhasil mengalahkan musuhnya dan membuat Siluman Harimau Putih itu tunduk kepada Prabu Siliwangi.
Pusaka Prabu siliwangi
Seiring dengan melebarnya daerah Kerajaan Gajah, kemudian Prabu Siliwangi ini membuat pusaka sakti yang saat ini menjadi logo Provinsi Jawa Barat, yakni kujang namanya. Senjata kujang ini juga bisa menambah kesaktian Prabu Siliwangi.
Bentuk dari pusaka kujang ini melengkung dengan ukiran-ukiran kepala harimau pada gagangnya. Ukiran kepala harimau tersebut yang ada pada gagang atau pegangan kujang itu konon katanya digunakan oleh Prabu Siliwangi ini untuk menginat akan jasa-jasa pendaming setianya, yakni siluman Harimau Putih.
Legenda kesaktian Prabu Siliwangi ini sejak dulu memang telah banyak orang-orang yang mengenal legenda kesaktian tersebut, selain itu Raja dari Kerajaan Pajajaran ini begitu populer atau terkenal sebagai salah satu raja yang bijaksana dan arip serta sangat mencintai kepada rakyat-rakyatnya.
Seiring dengan melebarnya daerah Kerajaan Gajah, kemudian Prabu Siliwangi ini membuat pusaka sakti yang saat ini menjadi logo Provinsi Jawa Barat, yakni kujang namanya. Senjata kujang ini juga bisa menambah kesaktian Prabu Siliwangi.
Bentuk dari pusaka kujang ini melengkung dengan ukiran-ukiran kepala harimau pada gagangnya. Ukiran kepala harimau tersebut yang ada pada gagang atau pegangan kujang itu konon katanya digunakan oleh Prabu Siliwangi ini untuk menginat akan jasa-jasa pendaming setianya, yakni siluman Harimau Putih.
Legenda kesaktian Prabu Siliwangi ini sejak dulu memang telah banyak orang-orang yang mengenal legenda kesaktian tersebut, selain itu Raja dari Kerajaan Pajajaran ini begitu populer atau terkenal sebagai salah satu raja yang bijaksana dan arip serta sangat mencintai kepada rakyat-rakyatnya.
Makam Prabu Siliwangi
Hingga saat ini dan detik ini belum ada yang mengetahui secara langsung tentang akhir cerita dari hidupnya Prabu Siliwangi, karena Makam Prabu Siliwangi hingga saat ini belum diketahui pasti letak yang aslinya.
Orang-orang banyak yang meyakini bahwa Prabu Siliwangi bersama pasukannya menghilang, dan memindahkan kerajaannya kedalam alam Ghaib. Dan melanjutkan kehidupannya bersama pengikut-pengikutnya dan membangun kembali kerajaan ghaib di wilayah Gunung Salak, kawasan daerah Kota Bogor Jawa Barat.
Memang kebanyakan orang-orang terdahulu ini mengatakan bahwa raja dari Kerajaan Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi ini belum ada yang mengetahui letak sebenarnya makam sang prabu tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi dan para pasukannya itu beralih ke daerah Gunung Salak dan membuat kerajaan Ghaib disana.
Namun, ada juga yang mengatakan bahwa makam sang raja tersebut terletak di daerah Cirebon, ada juga yang mengatakan di Gunung Gede Pangrango. Memang diluar sana banyak sekali yang mengatakan demikian, akan tetapi perkataan-perkataan yang dikatakan oleh mereka mengenai makam prabu siliwangi ini belum begitu jelas mana perkataan yang benar dan mana perkataan yang tidak benar.
Dan yang pastinya, diantara kita semua belum ada yang mengetahui letak makam tersebut.
Legenda Prabu Siliwangi
Cerita tentang Prabu Siliwangi ini begitu dikenal didalam sejarah suku sunda sebagai seorang raja di Kerajaan Pajajaran. Salah satu tulisan kuno yang menerangkan mengenai kisah perjalanan hidup Prabu Siliwangi ialah Kitab Suwasit namanya.
Didalam kitab tersebut terdapat sebuah tulisan yang di tulis dengan memakai bahasa sunda kuno yang tertulis pada selembar kulit Macan putih yang dijumpai di daerah Desa Rajagaluh, Jawa Barat.
Prabu Siliwangi ini ialah seorang raja terbesar di tanah Sunda yang memliki kesaktian yang sangat luar biasa, beliau juga seorang raja yang sangat bijaksana yang memimpin para rakyat-rakyatnya di Kerajaan Pakuan Pajajaran Putra dari Prabu Anggalarang.
Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati di kerajaan singapura
(seblum bernama kota cirebon).
Setelah Raden pemanah Rasa Dewasa & sudah cukup ilmu yg di
ajarkan oleh ki gedeng sindangkasih.
Beliau kembali ke kerajaan Gajah untuk Mengabdi kepada ayahandanya prabu Angga Larang/dewa Niskala.
Setelah itu Raden pemanah Rasa Menikahi Putri ki gedeng sindangkasih.
Yg bernama nyi Ambet kasih.
Ketika itu Kerajaan gajah dalam pemerintahan Prabu dewa Niskala atau prabu Angga Larang sedang dlm masa keemasanya.
Wilayahny terbentang Luas dari Sungai Citarum Di karawang yg berbatasan Langsung dengan kerajaan Sunda,smpai sungai ci-pamali berbatasan Dengan Majapahit.